Home Sosial & Budaya Obituari Untuk Ibu Sujiatmi: Mata Yang Tak Pernah Tidur

Obituari Untuk Ibu Sujiatmi: Mata Yang Tak Pernah Tidur

by admin

Seorang ibu, yang melahirkan Presiden, pemimpin rakyat yang sederhana bernama Joko Widodo telah pergi selamanya. Meninggalkan anaknya yang saat ini sedang berjuang, berperang melawan ancaman wabah virus Corona. Tiada kata lain selain,–Terima kasih Ibu Sujiatmi untuk seorang Jokowi buat bangsa ini. Maria Pakpahan menulisnya lewat Bergelora.com untuk ibu Sujiatmi dan ibunya tercinta, Sere Harianja yang dikenal dengan Nyonya Pakpahan. (Redaksi)

 

Oleh: Maria Pakpahan

 

 

 

Men are what their mothers made them – Ralph Waldo Emerson

DEMIKIAN salah satu ungkapan bernas American essayist, pujangga dan filsuf abad 19 yang melintas di benak saya saat mendengar mangkatnya Ibu Sujiatmi Notomiharjo (77 tahun), ibunda Presiden Joko Widodo.

 

Jelas orang bisa melihat sosok senyum ibu dan anak yang persis,– juga raut muka saat ada kegundahan,– sama ekspresi dengan wajah Pak Jokowi dengan ekspresi wajah Ibu Sujiatmi. Sila perhatikan photo-photo mereka.

 

Namun yang justru tidak boleh dilupakan bangsa Indonesia adalah bagaimana hasil gemblengan, didikan, kasih sayang Ibu Sujiatmi Notomiharjolah yang membentuk Pak Jokowi yang rakyat Indonesia kenal. Ralph Waldo Emerson memang tidak salah bahwa para pria dibentuk oleh para ibu mereka. Ibu Sujiatmi menghasilkan putra Pak Jokowi yang dikenal sederhana karena memang ibu Sujiatmi sosok sederhana. Pepatah Indonesia mengenal, buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Pak Jokowi mencerminkan nilai-nilai yang dianut ibunda Sujiatmi.

 

Nilai-nilai,– seperti tidak serakah, bekerja keras, tidak banyak membual, lebih fokus pada tanggung jawab daripada banyak bicara. Ini contoh-contoh yang melintas dipikiran saya. Karena sejak Pak Jokowi menjabat sebagai Presiden RI 2014 hingga hari ini,– tidak terdengar hiruk pikuk dari Ibu Sujiatmi.

 

Justru yang ada kehebohan, suara-suara miring dari pihak yang mencela, memfitnah, mempertanyakan,– dan sesungguhnya mereka inilah yang membuat saya bertanya, apakah orang-orang culas ini tidak malu, risih pada ibundanya sendiri? Apakah mereka ini dididik, dibentuk ibundanya untuk bertutur kata kasar, berpikiran jahat terhadap orang lain?

 

Semoga tidak demikian,– dan mereka sesungguhnya dididik baik oleh ibundanya. Hanya saja keculasan serta kebebalan mereka semata membuat mereka tega menebar fitnah, kekasaran, kenistaan terhadap ibu Sujiatmi untuk melukai hati Presiden Jokowi. Saya yakin ibu Sujiatmi sudah melampaui, memaafkan berbagai fitnah, kebohongan yang disebar para loser ini. Namun bukan berarti kita melupakan perilaku politicking yang menohok sosok seorang ibu. Bahkan sungguh keterlaluan, saat duka cita seperti hari inipun, masih saja ada yang mencaci-maki. Masih ada yang berkomentar apakah jasad almarhumah akan dibungkus kain kafan putih atau kain batik karena “Islam nusantara”? Yang menunjukkan sikap mereka yang jelas nyinyir,—sesungguhnya mereka ini loser akal budi!

 

Kita mendengar bagaimana empat tahun terakhir Ibu Sujiatmi mengidap kanker. Sempat berobat ke RSPAD, namun kankernya sudah menjalar. Saya menduga walaupun almarhumah sudah lama memaafkan perilaku para loser, namun luka batinnya ada, tubuhpun bereaksi atas stress yang gencar berkepanjangan melihat sosok putra tercintanya Presiden Jokowi dibully, dihina, difitnah sana sini. Bukan lagi kritik yang memang normal dalam demokrasi. Kritik tentu biasa. Namun menyerang sosok ibu  seorang elected president buat saya sungguh sikap yang justru menunjukkan betapa orang atau pelaku tersebut mungkin perlu diruwat jiwanya!

 

Bagaimanapun seorang ibu akan merasakan penderitaan, beban anaknya. Apalagi saat negeri Indonesia dalam situasi pandemic covid-19 saat ini. Ibu Sujiatmi paham beban kerja, tanggung jawab anaknya. Pak Jokowi ibaratnya seorang nahkoda kapal Indonesia perlu memastikan republik ini terus berjalan, rakyatnya terlindungi, korban diminimalisir. Soal bagaimana hubungan antara kronik stress mempengaruhi imflamasi atau peradangan yang mempengaruhi kanker sudah bukan rahasia. Contohnya satu saya sitir dibawah ini, berdasarkan opini Cancer Treatment  Centers of America https://www.cancercenter.com/community/blog/2019/07/what-is-the-relationship-between-stress-and-cancer

 

“It’s the same type of environment that develops when someone is in a state of constant stress,     Dr. Parikh says. “This isn’t a case where we know that a specific gene mutation predisposes you to a chronic inflammatory state, but there is a lot of literature linking chronic stress and chronic inflammation, which could lead to an ideal environment for cancer to develop, or, if it’s already present, to grow and spread.”In patients who already have cancer,  studies   have found that stress is linked to tumor growth. “We know that high-stressed cancer patients tend to have a harder time in treatment and recovery, and it makes sense that cancer might be harder to treat or more aggressive in these patients,” 

 

Bersyukurlah bangsa Indonesia memiliki Presiden Jokowi yang dalam masa duka cita kehilangan ibu kandungnya, masih memimpin rapat pengendalian covid-19 hingga tengah malam,– masih bersiap mengikuti pertemuan pemimpin G20 secara digital membahas pandemic corona. Selamat jalan ibu Sujiatmi. Tidak lagi rasa sakit mendera ragamu. Tiada lagi caci maki melukai batinmu. Karena jiwamu kini damai disisi-Nya.Terima kasih sudah memberikan seorang Jokowi untuk bangsa ini.Terima kasih sudah mendidik seorang putra yang bersahaja, jujur serta pekerja keras. Tentu tidak sempurna, mana ada manusia sempurna. Justru karena apa adanya, putra ibu Sujiatmi bisa dipercaya.

 

PS: Sekaligus tulisan ini untuk ibu saya terkasih Sere Harianja yang dikenal juga sebagai Nyonya Pakpahan yang mendidik, mengurus dan melahirkan saya persis hari ini 51 tahun lalu. Terima kasih Mama. Sekaligus catatan koreksi untuk ungkapan sitiran Ralph Waldo Emerson di awal tulisan ini, lebih tepat begini “Not only men but women too, are what their mothers made them.” Maria Pakpahan.

Related Articles

Leave a Comment