Home Sosial & Budaya Aktivis Perempuan Indonesia Terpilih Jadi Global Role Models Boneka Barbie

Aktivis Perempuan Indonesia Terpilih Jadi Global Role Models Boneka Barbie
Dia adalah Butet Manurung Pendiri Sokola Rimba

by admin

Jakarta – Memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret 2022 produsen boneka Barbie, Mattel Inc merilis koleksi Global Role Models yang terdiri dari 12 tokoh perempuan dari berbagai negara. Para perempuan ini dipilih karena kerja mereka yang dinilai memberikan sumbangan besar bagi perempuan dan kemanusiaan.

Di antara tokoh tersebut, terdapat perempuan Indonesia Butet Manurung. Perempuan yang lama dikenal sebagai aktivis dan pendiri Sokola Rimba ini antara lain bersanding bersama Shonda Rhimes pendiri Shondaland (AS); Arie Horie pendiri dan CEO Women’s Startup Lab (AS/Jepang); Pac McGrath, make up artis dan pendiri Pat McGrath Labs; Jane Martino, Pendiri Smiling Minds (Australia) dan Lan Yu seorang desainer dari China.

Di web resmi Mattel Inc., mattel.com disebutkan, pemilihan ini didasarkan pada kerja-kerja perempuan bernama asli Saur Marlina Manurung bersama Sokola Rimba, organisasi nirlaba yang didirikannya.

“Bersama Sokola Institute, Butet memberikan kesempatan pendidikan dan literasi bagi sekitar 15.000 orang dari kelompok marjinal dan warga daerah terpencil,” demikian tulis Mattel.

Butet sendiri sudah lama dikenal dan banyak meraih penghargaan untuk kerja-kerjanya. Perempuan yang pada Februari lalu genap berusia 50 tahun ini antara lain menerima penghargaan Man and Biosphere Award (UNESCO/2001), Pahlawan dari Asia (Majalah Tempo/2004), Asia Young Leader 2007, Young Global Leader 2009, Social Entrepreneur of The Year (Ernst and Young Indonesia 2012) dan Ramon Magsaysay Award 2014.

Menyikapi hal ini, Butet lewat akun twitternya @manurungbutet mengungkapkan rasa terima kasihnya karena terpilih menjadi salah satu dari 12 model Peran Global Barbie sekaligus mewakili Indonesia yang kaya akan ragam budaya.

“Saya berharap, semua perempuan muda untuk percaya pada diri mereka sendiri, bahwa kalian bisa menjadi apapun yang kalian inginkan,” tulisnya.

Mengutip Paulo Coelho, Butet lantas menambahkan, ketika kalian menginginkan sesuatu dan mengupayakannya maka alam semesta akan bersengkokol dan mendukung kalian menggapai mimpi.

Butet dalam wawancara dengan Konde.co, mengatakan ia sempat berpikir untuk menolak penawaran yang diajukan pihak Mattel. Namun, akhirnya dia menerima tawaran ini dengan harapan kerjasama ini bisa mengangkat isu terkait masyarakat adat ke lingkup yang lebih luas.

“Kita perlu cara non konvensional untuk membawa isu atau masalah yang dihadapi masyarakat adat, dengna kerja sama ini saya berharap isu mereka bisa menjangkau perempuan muda fans boneka Barbie,” ujar Butet.

Butet menambahkan, ia mneolak menerima bayaran untuk program ini dan mendonasikan semua uang yang diterimanya untuk masyarakat adat.

Kelebihan dan Kritik terhadap Barbie

Boneka Barbie mulai diproduksi pada 1959 di Amerika Serikat (AS) yang berhasil mendominasi pasar boneka dunia selama lebih dari empat dekade terakhir. Boneka Barbie lahir pada 1958, dengan nama Barbie Millicent Roberts dan berukuran tinggi badan 11,5 inci dan berat 11 ons. Saat itu, ia digambarkan sebagai seorang model berusia remaja yang mengenakan pakaian renang, lengkap dengan kacamata, sepatu berhak tinggi dan antingan besar berbentuk lingkaran berwarna keemasan.

Eko Rujito dan Nandy Intan Kurnia dalam laporan penelitian mereka bertajuk “Antara Etos Kemandirian dan Budaya Materialisme” menulis, ketika pertama kali muncul, Barbie berhasil mendobrak konsep tradisional tentang boneka anak-anak sekaligus nilai konservatisme dan kemapanan etika dan pandangan masyarakat tentang perempuan.

“Boneka Barbie menandai sebuah transformasi budaya, dari yang bersifat tradisional ke pandangan-pandangan yang lebih liberal,” tulis Eko Rujito dan Nandy.

Boneka Barbie merupakan representasi dari sebuah “budaya anak muda” yang menjadi gejala yang sangat dominan pada era pasca Perang Dunia ke-II yang ditandai oleh penyebaran daerah pinggiran kota (suburban/suburbia) dan semakin bertambahnya waktu luang bagi keluarga Amerika sebagai akibat dari bertambahnya tingkat kemakmuran. Boneka Barbie mencerminkan periode mulai menguatnya posisi kelas menengah dengan kemamapan finasial mereka.

Boneka Barbie rekaan Handler ini lantas menjadi mainan favorit anak perempuan di AS dan negara-negara Eropa melahirkan stereotipe perempuan ideal, yakni cantik, langsing, berambut pirang dan bermata biru. Barbie mencatat angka penjualan yang fantastis yakni lebih dari satu triliun unit sejak pertama kali diciptakan. Sejak awal kelahirannya, Barbie telah menghasilkan keuntungan hingga jutaan dolar tiap tahun kepada Mattel Inc.

Meski digandrungi, boneka Barbie juga banjir kritik terutama dari kelompok feminis karena dinilai telah menciptakan stereotip yang keliru tentang perempuan.

Penelusuran Eko Rujito dan Nandy Intan Kurnia mengungkap, boneka Barbie melahirkan citra bahwa perempuan ideal itu harus cantik, tinggi, langsing, bermata biru, berambut pirang. Stereotipe ini telah meracuni pikiran perempuan muda di seluruh dunia. Mereka rela mengorbankan waktu, biaya, dan bahkan kesehatannya demi menjadi sosok perempuan ideal seperti yang digambarkan oleh boneka Barbie. Para feminis menuduh Barbie telah membuat perempuan tidak berani menjadi diri mereka sendiri demi sebuah kesan utopis yang menyesatkan.

Terlepas dari semua kritikan itu, harus diakui Barbie sebenarnya telah berhasil mengakomodasi pandangan-pandangan baru tentang sosok perempuan. Dengan konsep fleksibilitasnya yang tinggi., Barbie juga menciptakan citra bahwa perempuan bisa menjadi apa saja atau siapa saja yang diinginkan tanpa tergantung pada orang lain. Barbie bisa menjadi dokter, perawat, peragawati, artis, atau apapun sesuai keinginan pemiliknya.

Mattel Inc sebagai produsen cukup cerdik dalam mengelola pasar. Bagian marketing perusahaan ini memiliki strategi khusus dalam pemasaran produk mereka, yakni dengan cara membentuk sebuah tim yang bertugas untuk mempelajari pola-pola perkembangan budaya, khususnya pada remaja-remaja suburban.

“Cara ini mereka lakukan agar boneka Barbie dapat tampil sebagai role model pagi para pecintanya,” tulis Eko Rujito dalam makalahnya.

Melihat penyebaran dan pengaruh Barbie yang begitu luas, masyarakat dihadapkan pada pertanyaan tentang makna sebenarnya kemunculan boneka Barbie, khususnya yang berkaitan dengan interaksi sosial.

Dan, beberapa tahun belakangan ini Mattel Inc. sang produsen coba menciptakan tokoh-tokoh hero. Saat pandemic Covid-19 mengganas pada 2020/2021 lalu, dirilis seri penemu vaksin. Pada akhirnya, memang produsen selalu mengikuti selera pasar dan persepsi yang berkembang di tengah masyarakat. Sebagai konsumen, kita perlu bersikap cerdas agar selera kita agar tak didikte oleh para pemilik modal.

 

 

 

Related Articles

Leave a Comment