JAKARTA- Koalisi 5 Organisasi menyatakan keprihatinan atas terhentinya proses legislasi RUU PPRT usulan Baleg (Badan Legislatif) selama lebih 1,5 tahun karena sikap diskriminatif Pimpinan DPR RI.
Kepada Tungkumenyala.com di Jakarta, Minggu (21/11) dilaporkan, Dr. Ir. Hj. Giwo Rubianto, M.Pd – Ketua Umum Kowani (Kongres Wanita Indonesia) menjelaskan bahwa Baleg sudah memaparkan usulan tersebut pada tanggal 15 Juli 2020 tetapi Pimpinan DPR tidak pernah mengagendakan RUU PPRT ke sidang paripurna untuk diambil keputusan sebagai RUU usulan DPR.
“Sementara, semua usulan lain yang sudah dibamuskan telah diagendakan oleh Pimpinan DPR ke sidang Paripurna. Koalisi 5 menghimbau agar Pimpinan menjalankan kewajiban mereka sebagaimana diatur di UU MD3 maupun Tatib DPR RI,” tegasnya.
Ia mengingatkan, Pasal 86 UU MD 3 terkait tugas Pimpinan DPR ayat (1) menyatakan bahwa Pimpinan DPR harus memimpin Sidang DPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusannya.
“Keputusan atas usulan RUU PPRT inisiatif Baleg adalah oleh seluruh anggota DPR RI di sidang paripurna dan bukan merupakan diskresi Pimpinan DPR,” tegasnya.
Ia mengingatkan selain itu, di ayat (2) Pasal 86 UU MD3 dinyatakan bahwa Pimpinan DPR bertugas menyusun rencana Kerja; melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan DPR.
“Penghentian atau penundaan proses legislasi RUU PPRT inisiatif Baleg oleh Pimpinan DPR tentu merugikan hak legislasi individu, komisi maupun alat kelengkapan DPR Baleg yang mengusulkan RUU PPRT,” tegasnya.
Iswarini dari Komnas Perempuan juga menegaskan agar PImpinan DPR segera menjadwalkan RUU PPRT di Sidang Paripurna di penghujung masa sidang di penghujung tahun ini demi para ibu Sarnah PRT yang disebut PB NU maupun Muhammdiyah sebagai Kaum Dhuafa dan Muftaqiyin yang wajib dilindungi negara.
“Pada Bulan Desember, saat Peringatan Hari Ibu dan Hari HAM sekaligus Anti Kekerasan Terhadap Perempuan sepatutnya Ketua dan Pimpinan DPR menunjukkan pemihakan mereka kepada kaum ibu Indonesia melalui dukungan penuh bagi pengusulan RUU PPRT (dan TPKS) menjadi inisiatif DPR pada Sidang Paripurna di Bulan Desember 2021 ini,” katanya.
Eva Kusuma Sundari SE, MA, MDE – Institut Sarinah mengingatkan bahwa, Konggres Perempuan 1928 tegas menuntut perbaikan nasib perempuan yang tertinggal, yaitu masalah perburuhan perempuan, pemberantasan buta huruf, dan perkawinan.
“Ketertinggalan perempuan akibat diskriminasi budaya feodaliame patriarki dan Penjajahan merupakan penghalang Kemerdekaan Bangsa. Situasi demikian masih terjadi saat ini sebagaimana ditunjukkan oleh data UNDP 2021 yang menggambarkan Kesenjangan Jender dan Ekonomi yang memburuk selama Reformasi,” katanya.
Dr. Ninik Rahayu, SH, Msi dari Jalastoria menegaskan Koalisi 5 Pro RUU PPRT menuntut adanya terobosan legislasi yang pro perempuan oleh DPR periode 2019-2024 yang diketuai Ibu Puan Maharani yang juga Menko Kesra 2014-2019.
“Komitmen politik Pimpinan DPR yang responsif gender ini akan produktif dan efektif karena pemerintah sudah membentuk gugus tugas untuk RUU PPRT dan RUU TPKS yang dimotori oleh KPPPA dan Kemenakertrans yang kebetulan keduanya, bersama ketua DPR RI adalah para perempuan luar biasa dan pro Kesetaraan Gender,” jelasnya.
Sementara itu Lita Anggraini dari Jala PRT menegaskan tiada keadilan sosial tanpa kesetaraan gender. Hapus Kekerasan Terhadap Perempuan.
“Segera sahkan RUU PPRT dan RUU TPKS demi keadilan dalam kemanusiaan,” tegasnya. (Rukmini)