PALANGKARAYA- Akibat melecehkan religi adat Dayak, Kalimatan Tengah terancam rusuh. Saat ini semua orang Dayak di seluruh Kalimatan sedang melaksanakan ritual dan perjalanan menuju ke Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah untuk mempertahan tanah adat yang dirampas perusahaan sawit PT Sawit Mandiri Lestari (SML).
Koordinator Dayak International Organization (DIO), Kalimantan Tengah, Dr. Dagut H Djunas, mengecam keras kriminalisasi dilakukan Polisi Republik Indonesia (Polri) terhadap masyarakat Adat Dayak yang mempertahankan haknya terhadap tanah adat Dayak di Desa Laman Kinipan.
“Demi terjamin kondusifitas keamanan di masyarakat di Kalimantan, kami minta Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, segera memerintahkan Kepala Polisi Republik Indonesia, Jenderal Polisi Idham Azis dan Kepala Polisi Daerah Kalimantan Tengah, Inspektur Jenderal Polisi Dedy Prasetyo, untuk melepas semua warga masyarakat adat Dayak yang sudah ditangkap dalam kaitan perampasan tanah masyarakat Adat Dayak di Desa Kinipan yang dilakukan PT SML,” ujarnya kepada pers di Palangkaraya, Kamis (27/8).
Ia menegaskan DIO mendesak Presiden Republik Indonesia, Ir Joko Widodo, supaya memberikan pemahaman yang memadai kepada institusi vertikal di daerah tentang anthropologi budaya, agar tidak terus-terusan terjadi benturan peradaban di dalam penjabaran program pembangunan pada berbagai aspek.
“Negara harus segera menghentikan segala bentuk upaya pembungkaman warga masyarakat Adat Suku Dayak di Desa Laman Kinipan melalui jerat kriminalisasi atas perjuangan masyarakat dalam mempertahankan hutan, ruang hidup dan wilayah adatnya dari eksploitasi masif PT. SML,” ujarnya.

DIO mendesak Pemerintah Republik Indonesia, segera melakukan investigasi menyeluruh terhadap seluruh aktifitas investasi di Kalimantan yang terbukti tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat luas, terutama investigasi terhadap keberadaan PT SML di Desa Laman Kinipan.
“Kementerian Llingkuan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, segera mencabut surat keputusan Nomor: 1/I/PKH/PNBN/2015, tentang Izin Pelepasan Hutan untuk PT. SML seluas 19.091 hektar,” tegasnya.
Dagut H Djunas juga mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) segera mencabut Surat Keputusan ATR/BPN Nomor 82/HGU/KEM- ATR/BPN/2017, tentang Pemberian Hak Guna Usaha (HGU) atas nama PT Sawit Mandiri Lestari (SML) seluas 9.435,2214 Hektar.
“Pemerintah Republik Indonesia segera menetapkan Hutan Adat Dayak di Desa Laman Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, sebagai merespons Deklarasi Hutan Adat Dayak yang dilakukan masyarakat di Desa Laman Kinipan, Sabtu, 30 April 2016,” tegasnya.
Penangkapan Polisi
Sebelumnya penyidik Polisi Daerah Kalimantan Tengah (Polda Kalteng), Indonesia, melakukan penangkapan terhadap Efendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan di Desa Laman Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, Rabu, 26 Agustus 2020.

Efendi Buhing ditetapkan sebagai tersangka, karena membela 239 Kepala Keluarga (KK) mencakup 938 jiwa masyarakat adat Dayak di Desa Laman Kinipan, Kecamatan Batang Bawa, Kabupaten Lamandau, dalam mempertahankan tanah adat yang digarap secara sepihak oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit Perseroan Terbatas (PT) Sawit Mandiri Lestari (SML) yang sudah ditolak keras masyarakat Adat Dayak sejak 28 Maret 2012.
Efendi Buhing ditangkap, menyusul langkah serupa dilakukan terhadap Riswan, Kepala Seksi Pemerintahan Desa Kinipan, Rabu, 22 Juli 2020. Riswan, Efendi Buhing dan 4 (empat) warga masyarakat Adat Dayak lainnya (Yefli, Yusa, Teki dan embang), atas tudingan sepihak dari PT SML, telah melakukan perbuatan melawan hukum, berupa upaya penghadangan akfititas PT SML di hutan adat Dayak di Desa Kinipan, Selasa, 23 Juni 2020.
Puncak penolakan terhadap kehadiran PT SML menggarap tanah adat masyarakat Suku Dayak secara sepihak di Desa Laman Kinipan, melalui aksi unjukrasa di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lamandau, Senin siang, 18 Oktober 2018. Aksi unjukrasa, sebagai tindaklanjut dari deklarasi pengukuhan Kawasan Hutan Adat Dayak di Desa Laman Kinipan sebagai Hutan Adat Dayak, Sabtu, 30 April 2016.
Namun posisi masyarakat semakin tidak menentu, ketika pada Rabu, 8 Januari 2020, Bupati Lamandau, Hendra Lesmana, saat menerima delegasi masyarakat adat Dayak dari
Desa Kinipan di Nanga Bulik, Ibu Kota Kabupaten Lamandau, menegaskan, “Tidak adat masyarakat adat Dayak di Desa Kinipan.”
PT SML memperoleh izin pelepasan lahan 19.091 hektar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui surat 1/I/PKH/PNBN/2015, pada 19 Maret 2015. Izin pelepasan untuk areal inti 9.435,22 hektar dan plasma 9.656,37 hektar. Berdasarkan pengukuran kadastral (pertanahan) Badan Pertanahan Nasional (BPN) 13 April 2017, PT MSL mendapatkan lahan 17.046 hektar. Di dalam itu, untuk perkebunan inti 9.435 hektar dan plasma 7.611 hektar dan Hak Guna Usaha (HGU) seluas 9.435,22 hektar.
Melanggar Konstitusi
Dayak International Organization (DIO) mengingatkan keberadaan masyarakat Adat di Indonesia dilindungi konstitusi di Negara Republik Indonesia, 18B, pasal 28l ayat (3), dan pasal 32 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 18B, berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Pasal 28l ayat (3), berbunyi, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.’’
Pasal 32 ayat (1), berbunyi, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
DIO mengingatkan, sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir, masyarakat adat, dengan hukum adat dan tanah adat, sudah ada di Kalimantan. Selama pemerintahan kolonial Belanda, Cornelis van Vollenhoven, dalam bukunya berjudul “Het Adatrecht van Nederlandch-Indie”, wilayah hukum adat di Hindia Belanda (Indonesia), dibagi menjadi 19 wilayah, termasuk di wilayah hukum adat Suku Dayak di Pulau Kalimantan.
Kedudukan Hukum Adat Dayak, dalam takaran tertentu mengisi ruang kosong di dalam Hukum Negara, sehingga antara keduanya saling mengisi satu sama lain. Aplikasi dari hukum negara tidak boleh mengesampingkan filosofi yang ada di dalam hukum adat. Karena hukum adat adalah sumber dari segala sumber hukum negara, dengan tujuan menciptakan rasa keadilan bagi semua orang.
Dayak International Organization (DIO) memprotes keras pernyataan Bupati Lamandau, Hendra Lesmana yang juga sebagai Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Lamandau di Nanga Bulik, Rabu, 8 Januari 2020, bahwa tidak ada masyarakat adat Dayak di Desa Laman Kinipan, karena belum mengantongi pengakuan tertulis dari otoritas yang berwenang di Indonesia.
Karena keberadaan masyarakat adat, termasuk masyarakat Adat Dayak, paling penting dan sangat prinsip, adalah masih terpeliharanya nilai-nilai religi sebagai aktualitasi dari Kebudayaan Dayak yang masih hidup di tengah masyarakat Suku Dayak itu sendiri.
Hutan Suci
Kepada Tungkumenyala.com dilaporkan, sampai sekarang, kehidupan keseharian masyarakat Adat Suku Dayak di Desa Laman Kinipan masih berpegang teguh kepada sistem religi Dayak dengan sumber doktrin (legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan Hukum Adat Dayak), dimana sekaligus membuktikan masyarakat Adat Dayak di Desa Laman Kinipan, masih ada dan tetap eksis.
Sikap masyarakat Suku Dayak di Desa Laman Kinipan mempertahankan tanah adat, sebagai langkah kembali kepada karakter dan jatidiri Bangsa Indonesia, dengan mencintai dan merawat kebudayaan Dayak, sebagai wujud nyata pengamalan ideologi Pancasila yang sinkron dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahu 2017, tanggal 24 Mei 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan.
Kaitan hutan sebagai simbol dan sumber peradaban (berbagai aktifitas sosial dan ekonomi) sebagai faktor pembentuk karakter dan jatidiri manusia Dayak beradat, yaitu (a) berdamai dan serasi dengan leluhur, (b) berdamai dan serasi dengan alam semesta, (c) berdamai dan serasi dengan sesama, serta (d) berdamai dan serasi dengan negara, telah dikukuhkan dua putusan hakim mahkamah konstitusi, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 35/PUU-X/2012, tanggal 16 Mei 2013, tentang pengakuan keberadaan tanah adat dan putusan hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nomor 97-PUU-XIV/2016, tanggal 7 November 2017, tentang pengakuan aliran kepercayaan yang dimaknai sebagai pengakuan terhadap keberadaan agama asli dari berbagai suku bangsa di Indonesia.
Keberadaan masyarakat adat secara internasional dilindungi Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/296, tanggal 13 September 2007, mencakup 46 (empat puluh enam) pasal, dimana pada pasal 1 – 6 disebutkan, masyarakat adat berhak mempertahankan tanah adatnya, masyarakat adat berhak mempertahankan identitas budayanya dan masyarakat adat berhak menentukan haluan politiknya. (Aju)