Home Suara PRT Kisah Mamak: Potret Buram Pekerja Rumah Tangga yang Sering Dipandang Rendah

Kisah Mamak: Potret Buram Pekerja Rumah Tangga yang Sering Dipandang Rendah
Penulis: Anindita S. Thayf

by admin

tungkumenyala.com – Orang-orang sekomplek perumahan memanggilnya Mamak. Kepalanya sudah dihiasi uban sempurna yang tidak mengenal semir rambut. Begitupun, jangan coba-coba menebak usia Mamak berdasarkan kesempurnaan ubannya itu atau barisan kerutan di wajahnya.

Kerasnya kehidupan membuat fisik Mamak menua jauh lebih cepat daripada usianya. Situasi yang tidak hanya dialami oleh Mamak, tetapi juga oleh sebagian besar kaum miskin, baik di perkotaan maupun perdesaan.

Mamak bekerja pada sebuah keluarga kelas menengah perkotaan kebanyakan. Sebuah keluarga yang Tuan dan Nyonyanya tidak hanya berpendidikan tinggi, tetapi juga memiliki pekerjaan yang mampu mendongkrak kelas sosial: berkantor di gedung besar berpendingin, bergaji tinggi dan bertunjangan besar. Pekerjaan yang membuat mereka selalu sibuk nyaris sepanjang hari hingga tidak memiliki waktu untuk mengurus rumah mereka, bahkan anak-anak mereka sendiri. Di tengah kondisi inilah mereka lantas mempekerjakan Mamak.

Mamak telah bekerja pada keluarga itu selama belasan tahun. Pengabdian yang membuat banyak tetangga menganggap Mamak sebagai satu dari sedikit Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang beruntung. Mamak memang beruntung karena dia bekerja pada zaman yang telah “mengharamkan” panggilan pembantu, apalagi jongos atau babu, untuk menamai para PRT. Sebaliknya, sang Tuan dan Nyonya memanggilnya, “Mamak.” Panggilan yang menunjukkan penghormatan dari seorang majikan yang berusia lebih muda daripada pekerja rumah tangganya.

Sekilas, Mamak juga terlihat beruntung karena, sepengetahuan para tetangga, dia selalu diperlakukan dengan baik. Para tetangga bisa memberikan beberapa bukti soal itu. Misalnya, mereka tahu kalau selain mendapat gaji, Mamak juga diberi sepaket sembako setiap akhir bulan. Mereka juga tahu bahwa menu makanan sehari-hari Mamak sama dengan menu majikannya, begitu pula peralatan makanan yang dipakainya. Kadang-kadang, Mamak bahkan diajak makan semeja dengan Tuan, Nyonya dan anak-anak mereka.

Kepada satu-dua tetangga, Mamak pernah pula bercerita bahwa sang Tuan dan Nyonya sering mengajaknya pergi ke pusat pertokoan dan berbelanja, menikmati makanan enak di luar rumah, bahkan sesekali berlibur bersama.

Tidak hanya itu, setiap kali salah satu majikan pulang dari bepergian ke luar kota, Mamak mesti mendapat jatah oleh-olehnya sendiri. Dari semua bukti di atas, ditambah kesaksian tetangga kanan-kiri bahwa mereka tidak pernah melihat Mamak pulang dari tempat kerjanya dengan wajah sembab atau tubuh berhias lebam dan luka, kian yakinlah para tetangga kalau Mamak benar-benar PRT yang beruntung. Dia telah diperlakukan dengan penuh rasa kemanusiaan oleh orang-orang yang mempekerjakannya dan, barangkali, itulah alasan mengapa Mamak betah bekerja di sana. Benarkah?

Dia telah diperlakukan dengan penuh rasa kemanusiaan oleh orang-orang yang mempekerjakannya dan, barangkali, itulah alasan mengapa Mamak betah bekerja di sana. Benarkah?

Manusia sebagai Komoditas

Pada awalnya, semua manusia berada dalam posisi yang setara. Manusia hidup dalam lanskap komunal dan tribal yang belum mengenal kelas-kelas sosial. Ketimpangan barulah meruak ketika mulai terjadi penguasaan terhadap alat produksi, entah itu tanah, hewan ternak maupun manusia. Sejak itu, muncullah pembagian di antara manusia berdasarkan kepemilikan.

Kelas pemilik yang selalu berusaha untuk mendominasi manusia lain dan kelas pekerja yang bersedia mengabdi dengan menukarkan apapun dari dirinya demi bertahan hidup satu hari lebih lama. Inilah awal mula lahirnya penindasan dan penghisapan antara sesama manusia, yang terus bertahan lama melewati abad demi abad hingga masyarakat industri dan kapitalisme melahirkan apa yang dikenal sebagai PRT.

Di mata kelas pemilik atau borjuasi, kelas pekerja adalah sumber daya yang bisa digunakan untuk memenuhi kepentingannya sekaligus mengumpulkan keuntungan. Adapun bagi kapitalis, yang selalu berpikir berdasarkan pergerakan neraca keuangan, manusia adalah bagian dari kapital yang bisa dikuasai dan dimonopoli.

Di hadapan pandangan-pandangan yang semacam inilah manusia menjelma menjadi komoditas. Tidak hanya dipandang laksana benda atau angka, orang-orang kelas pekerja juga sengaja dibedakan dari sesamanya: ditandai, diisolasi, dilucuti hak-haknya, hingga mudah dikenai stigma buruk dan didemoralisasi. Berada di lapisan terbawah dari orang-orang malang inilah para PRT berdiri. Mereka yang bekerja lebih keras daripada rekan pekerja lainnya, tetapi tidak dianggap sebagai pekerja.

Di dunia yang kapitalis manusia menjelma menjadi komoditas. Tidak hanya dipandang laksana benda atau angka, orang-orang kelas pekerja juga sengaja dibedakan dari sesamanya: ditandai, diisolasi, dilucuti hak-haknya, hingga mudah dikenai stigma buruk dan didemoralisasi. Berada di lapisan terbawah dari orang-orang malang inilah para PRT berdiri. Mereka yang bekerja lebih keras daripada rekan pekerja lainnya, tetapi tidak dianggap sebagai pekerja.

Hingga hari ini, seorang PRT diakui sebagai pekerja hanya sebatas istilah. Padahal, sesuai Konvensi International Labour Organization (ILO) 189 tentang pekerjaan yang layak bagi PRT, istilah ini telah diterima secara internasional sejak 16 Juni 2011. Semestinya pula, sejak hari yang kemudian dicanangkan sebagai Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional itu, kehidupan para PRT bisa menjadi lebih baik dan terjamin jika saja pengakuan tersebut berbuah sebuah payung hukum: Rancangan Undang-Undang yang mampu memberikan perlindungan kepada Pekerja Rumah Tangga, termasuk Mamak.

Kemanusiaan yang Eksklusif

“Demikianlah kondisi kota London seperti semua kota lain di Inggris. Sikap acuh tak acuh dimana-mana, egoisme di satu sisi dan penderitaan anonim di sisi lain.” Demikianlah Friedrich Engels mendeskripsikan keadaan London pada tahun 1800-an dalam bukunya Kondisi Kelas Pekerja Inggris. Kendati roda waktu telah melaju hingga abad demi abad berganti mencapai milenial, apa yang dilihat Engels kala itu sungguh tidak jauh berbeda dengan yang terpampang pada hari ini.

Sikap acuh tak acuh pemerintah atas nasib PRT, lewat RUU PPRT yang tidak kunjung dilahirkan, adalah salah satu buktinya. Sebentuk ketidakpedulian yang kasar dan tanpa malu mengingat PRT bukanlah orang asing bagi masyarakat kita. Dialah orang yang kita lihat sejak pagi hingga sore, bahkan mungkin malam hari. Orang yang membersihkan segala kotoran di rumah kita, memastikan selalu ada makanan hangat dan pakaian bersih untuk keluarga kita, bahkan menjaga anak-anak kita dengan kasih sayang seorang ibu. Ironisnya, baik di mata pemerintah maupun para Tuan dan Nyonya, posisi seorang PRT ibarat gajah yang tidak terlihat meski berdiri di depan mata. Dia hanyalah salah satu sumber daya yang anonim, dengan masalah dan penderitaannya yang anonim pula.

Munculnya kelas-kelas sosial yang semakin menajam dalam masyarakat kapitalisme melahirkan apa yang disebut oleh F. Budi Hardiman sebagai humanisme ekskluvistis. Modernitas yang menjadi pijakan kapitalisme, masih menurut Hardiman, telah mengubah manusia sebatas “sebagai human resources, modal atau bahkan komoditas yang bisa dipertukarkan dengan uang.” Artinya, dalam tataran ini, manusia tidak dilihat dari segi kemanusiaannya, melainkan dari nilai manfaatnya dalam rantai produksi kapitalisme.

Di sisi lain, ketidakadilan, penderitaan dan diskriminasi yang ditimpakan oleh sistem semacam ini kepada PRT tidak hanya memaksanya untuk mengorbankan tubuh dan nafasnya, tapi juga kemanusiaannya. Kepadanya, Tuan dan Nyonya selalu menuntut kerja keras dan kepatuhan yang mutlak. Dengan kuasanya sebagai pemberi kerja, Tuan dan Nyonya merasa berhak pula memonopoli kontrak kerja, upah, bahkan waktu kerjanya secara sepihak. Meletakkan si PRT yang malang dalam penjara tirani agar senantiasa bergantung, berterima kasih dan bersepakat atas apapun yang disodorkan kepadanya sebagaimana yang dialami Mamak.

Lewat sebuah pengakuan saat hendak meminjam uang kepada seorang tetangga, terkuaklah berapa rendah upah yang diterima Mamak dari Tuan dan Nyonya. Jumlah gaji Mamak berada jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR) dan hanya bertambah beberapa ribu rupiah pada setiap kenaikan gaji, yang sangat jarang terjadi.

Lewat pengakuan Mamak di lain waktu, terbongkar pula betapa lenturnya waktu kerja perempuan malang itu. Pada malam-malam tertentu, dia bahkan harus merangkap menjadi penjaga rumah, penjaga anak bahkan tukang pijat dan kerok sukarela. Bekerja lembur tanpa bayaran kerap pula dilakukannya tanpa pernah mengeluh.

Tentu ada sejumlah alasan mengapa Mamak memaksakan diri bertahan di tengah lingkungan kerja yang semengenaskan itu. Namun, hanya ada satu alasan yang bersembunyi di balik perlakuan sang majikan kepadanya. Sesetia, sepatuh dan sedekat apapun Mamak kepada Tuan, Nyonya dan anak-anak mereka, Mamak tidak pernah benar-benar dianggap sebagai bagian dari mereka. Mamak tetaplah liyan; sesuatu yang lebih rendah; bukan apa-apa.

Panggilan penuh hormat, perlakuan akrab bak keluarga, hingga kedermawanan hanyalah semacam trik manipulasi para borjuis yang gemar bertingkah laku bak Tuhan di hadapan kaum minoritas yang lemah. Penderitaan Mamak soal gaji rendah, waktu kerja yang tidak menentu, serta ketidakadilan lainnya hanyalah penderitaan anonim. Demi menumpuk keuntungan sebanyak-banyaknya, memperbudak PRT adalah sikap teregois yang sering dilakukan oleh para borjuis.

Demi menumpuk keuntungan sebanyak-banyaknya, memperbudak PRT adalah sikap teregois yang sering dilakukan oleh para borjuis.

Kita tidak bisa berbicara masalah kemanusiaan bagi PRT tanpa mengubah nasib mereka. Pertama-tama yang harus dilihat adalah bahwa PRT merupakan manusia sebagaimana manusia yang lain. Sebagaimana dicantumkan dalam Deklarasi Universal HAM, bahwa manusia harus “bebas dari perbudakan.” Adapun dalam Pancasila, sila keduanya jelas berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Ini berarti, setiap manusia mempunyai hak yang sama baik untuk berpendapat, bersuara, berserikat maupun mendapatkan kesejahteraan yang layak.

Sementara itu, sebagai seseorang yang jelas-jelas bekerja pada pihak pemberi kerja, PRT berhak mendapatkan hak-hak yang sama dengan pekerja lainnya, seperti buruh dan karyawan. Dengan demikian, pengabaian atas hak-haknya, apapun itu, bisa dilihat sebagai bentuk dukungan atas perbudakan, yang jelas bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab; Pancasila dan UUD 1945.

Sebagai manusia, perlakukanlah PRT sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Satu bentuk dukungan mendesak yang bisa kita lakukan adalah memberi dorongan kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera mengesahkan RUU PPRT demi memperbaiki nasib PRT. Upaya tersebut memang tidak mudah mengingat kuatnya tarik menarik di kalangan elit politik yang belum melihat urgensi perbaikan nasib PRT.

Kondisi ini tentu merupakan tantangan bagi kita bersama untuk menciptakan kemanusiaan bagi PRT. Sebagai bagian dari kaum subaltern, yaitu kelompok masyarakat yang dipinggirkan, sungguh sulit bagi mereka untuk bersuara sendiri, apalagi bersuara dengan keras. Di sinilah tugas kita untuk membuat suara itu bergema dan terdengar hingga ke mana-mana

(Artikel ini adalah pemenang lomba artikel mengenai Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang diselenggarakan Konde.co dan Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dengan didukung VOICE)

Related Articles

Leave a Comment