Home Suara PRT Karena Malu, Saya Sempat Menutupi Pekerjaan Saya sebagai PRT

Karena Malu, Saya Sempat Menutupi Pekerjaan Saya sebagai PRT

by admin
Saya bekerja menjadi PRT karena suami kena PHK. Namun, saat mertua dan suami tahu mereka sempat melarang saya bekerja menjadi PRT. Tapi saya berhasil meyakinkan mereka bahwa menjadi PRT bukanlah pekerjaan hina. Seperti profesi lainnya, PRT adalah pekerjaan yang layak dan mendatangkan manfaat bagi orang lain.
Suriani

 

Makassar – Perkenalkan, saya Suriani usia sekitar 40an tahun. Saat ini tinggal di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Sebenarnya pendidikan saya nggak rendah-rendah amat, karena saya tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA). Tapi kemudian harus bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT).

Profesi ini harus saya jalani setelah suami terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sementara dari tempat kerjanya. Untuk menyambung hidup, saya yang sebelumnya menjadi ibu rumah tangga harus bekerja apapun asal menghasilkan pendapatan yang halal. Salah satu lapangan pekerjaan yang bisa didapatkan dengan mudah, dan tanpa syarat ini itu adalah menjadi PRT.

Saat mulai bekerja sebagai seorang PRT pada Bulan Desember 2014. Awalnya, pekerjaan itu terasa sangat berat buat saya. Ini bukan karena pekerjaannya atau majikan saya, tetapi saya malu pada orang-orang di sekitar, tetangga dan bahkan keluarga saya.

Bahkan, saya sempat menutupi pekerjaan baru saya ini. Saya juga harus berbohong kepada suami dan hampir semua orang yang ada di sekitar saya. Masih ada rasa malu bahwa saya adalah seorang PRT.

Setelah  beberapa bulan bekerja sebagai PRT, ternyata pendapatan yang saya dapatkan sangat memuaskan. Saya tak hanya bisa menghidupi keluarga tapi sedikit demi sedikit saya bisa menyisihkan uang untuk ditabung.

Tidak ada yang salah dengan pekerjaan saya sebagai PRT. Bahkan kerja-kerja saya sebagai PRT bermanfaat dan bisa membantu orang lain atau majikan saya dalam menjalani hidupnya.

Selain itu, saya juga mulai sadar tidak ada yang salah dengan pekerjaan saya. Bahkan apa yang saya kerjakan bermanfaat dan bisa membantu orang lain atau majikan saya dalam menjalani hidupnya, sehingga akhirnya saya terus terang kepada suami dan mertua bahwa saya bekerja sebagai PRT.

Tentu mereka sangat kaget dan sempat melarang saya untuk kembali bekerja menjadi PRT dan mencari pekerjaan lain yang dinilai lebih layak. Namun, saat itu saya sudah beberapa waktu lamanya bergabung dengan organisasi Serikat PRT (SPRT) Paraikatte yang mengorganisir para PRT di Kota Makassar.

Saya sudah mengerti posisi PRT, sehingga saya sudah tidak malu lagi dengan pekerjaan saya. Saya juga yakin dengan pekerjaan yang saya tekuni saat ini. Berbekal pengetahuan yang saya dapatkan selama ‘bersekolah’ di SPRT, saya coba meyakinkan mertua, suami dan tetangga sekitar bahwa PRT bukanlah pekerjaan hina. Seperti profesi lainnya, PRT adalah pekerjaan yang layak dan mendatangkan manfaat bagi orang lain.

Penghasilan yang didapatkan dari PRT juga halal. Alhamdulillah setelah bergabung dengan SPRT rasa percaya diri terangkat, sehingga saya tak lagi malu mengakui bahwa saya adalah PRT.

Namun demikian, ada satu hal yang mengganjal di hati saya yakni hingga saat ini belum ada payung hukum bagi pekerjaan yang ditekuni jutaan perempuan Indonesia ini. Hingga hari ini, Rancangan Undang-undang Perlindungan PRT yang sudah diperjuangkan sejak 2004 belum juga disahkan. Saya berharap, semoga pembahasan RUU ini dilanjutkan dan disahkan, sehingga kami para PRT segera memiliki payung hukum.

Demikian curahan persaan saya, seorang perempuan yang sudah delapan tahun lamanya menjadi PRT. Semoga suara hati kami didengarkan oleh para pejabat dan anggota dewan yang terhormat. Sehingga mereka tergerak untuk membahas RUU Perlindungan PRT yang akan melindungi jutaan perempuan yang bekerja sebagai PRT.

 

Related Articles

Leave a Comment