Jakarta – Halo namaku Ajeng Astuti, aku ingin membagikan kisahku sebagai sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di daerah Jakarta Selatan. Sudah bertahun-tahun aku bekerja mengurus apartemen milik bos yang disewakan kepada orang asing.
Saat pandemi Covid 19 mulai melanda pada awal tahun 2020, kondisi berubah 180 derajat. Banyak apartemen yang kosong dan tidak tersewa. Hal ini karena biasanya yang menyewa kebanyakan warga asing. Selama pandemi Covid-19 melanda, banyak ekspatriat yang pulang ke negaranya masing-masing.
Jadilah sangat berasa sepinya penyewa, penghasilan pun berkurang drastic. Kondisi makin memburuk, setelah suamiku kena pemutusan hubungan kerja (PHK) karena perusahaan tempat dia bekerja merugi.
Kami sekeluarga harus memutar otak, bagai ana caranya agar penghasilan yang ada cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bagaimana caranya sewa rumah tetap terbayar, bisa beli token listrik dan kebutuhan sehari-hari. Juga bagaimana caranya cicilan-cicilan lain tetap terbayar.
Aku yang merasa tidak punya kebisaan atau keahlian khusus, tapi karena termotivasi dari teman-teman yang sudah lebih dulu berjualan, akhirnya ikut mencoba keberuntungan dengan berjualan. Siapa tahu ada rezeki ada di sana.
Aku pun mulai berjualan secara online. Kalau sebelumnya di akun medsosku seperti, Facebook, Instagram ataupun Whatsapp aku biasa mengungah kegiatan sehari-hari atau kegiatan serikat, kini materi postingan dipenuhi dengan postingan aneka jualanku. Foto-foto makanan dan minuman seperti cilok, biji ketapang, gabin tape dan minuman jamu kunyit asem, beras kencur dan wedang jahe pun wira-wiri di akun medsosku.
Sebagian jualan itu aku buat sendiri, yang resepnya aku dapatkan dari sekolah yang digelar Serikat PRT setiap minggu. Sebagian resep aku dapatkan melalui browsing di internet. Aku memasak satu-satu menu itu sesuai pesanan. Jika memang ada yang meminta atau memesan, lantas barang aku kirim ke pembeli.
Semisal dalam sehari aku dapat menjual lima bungkus gabin tape. Sebungkus gabin tape yang berisi 5 biji aku banderol seharga Rp 10.000. Jika laku lima bungkus, berarti aku dapat uang sebesar Rp 50.000, dari uang sebanyak itu nanti untuk membeli bahan lagi, kayak tapenya, biskuitnya, susu kental manis, belum plastik mica, minyak goreng kalau kebetulan habis.
Sedangkan untuk cilok, biasa aku jual Rp20.000 seporsi. Kalau jamu aku jual per botol seharga mulai Rp15.000 tergantung ukuran botolnya. Untuk minuman jamu yang banyak dibeli saat pandemi, aku memakai botol plastik kemasan yang aku pesan lsecara online. Biasanya sekali order aku beli sekitar 25 hingga 50 botol dengan harga sekitar Rp30.000 hingga Rp50.000. Harga ini belum termasuk stiker yang aku pesan juga secara online biar kemasannya terlihat cantik dan daganganku lebih menarik.
Kalau untuk bahan jamu, biasanya aku cukup belanja ke pasar Mede di Jalan Fatmawati Raya yang letaknya tak jauh dari rumah kontrakan. Kunyit, kencur, jahe, asem jawa dan gula merah di sana bagus-bagus dan bisa dibeli dengan harga murah. Selain itu aku juga bisa memilih bahannya sendiri.
Walau penghasilan dari berjualan tak seberapa karena harus dibagi lagi untuk membeli bahan-bahan berjualan lagi, tapi sangat membantu untuk bertahan hidup saat pendemi. Kini setelah dua tahun, pandemi Covid 19 mulai mereda. Ekonomi perlahan mulai pulih, sehingga aku berharap bisa kembali mendapatkan pekerjaan. Namun demikian, usaha ini tetap akan dilanjutkan.