Home Sosial & Budaya Cerita Pahit PRT: Memungut Sayur Sisa, Menyambung Hidup

Cerita Pahit PRT: Memungut Sayur Sisa, Menyambung Hidup

by admin

Pernah dibilang bodoh dan digaji rendah oleh majikan. Setelah itu pernah memunguti sayur sisa di pasar untuk menyambung hidup. Itu salah cerita pahit saya bekerja sebagai PRT.

Oleh: Mila Sari

Direndahkan dan memunguti sisa-sisa sayur di pasar untuk menyambung hidup, itu cerita paling pahit saya menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT)

Mulanya saya bekerja di sebuah pabrik kaleng di kawasan industri Tangerang tahun 1991. Pabrik ini memproduksi berbagai macam kaleng makanan seperti biskuit, cat, sardin, cokelat, dan sebagainya. Saya bertugas sebagai quality control atau pengawas kualitas produk.

Tahun 1995, saya menikah. Tahun 1997, saya kemudian dikaruniai seorang putri. 

Pada tahun 1998, Indonesia berada dalam keadaan genting. Kerusuhan dan penjarahan ada di mana-mana. Pabrik-pabrik pun tutup, dan kami pun dirumahkan selama 3 bulan. Saat itu, saya hanya memiliki uang sebesar Rp200.000,00. Demi bertahan hidup, akhirnya uang itu saya jadikan modal untuk berjualan sarapan seperti bubur ayam, nasi uduk, nasi kuning, lontong sayur, gado-gado, gorengan, dan lainnya. 

Pada tahun 2000, saya diajak seorang teman untuk pergi ke Singapura menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Sebelum pergi, kami ditampung dan dilatih di sebuah asrama selama 2 minggu. Setelah itu, saya pun terbang ke Singapura.

Gaji pertama saat itu sebesar 230 dolar Singapura, lalu dipotong pihak agensi sebesar 220 dolar Singapura. Jadilah saya hanya menerima 10 dolar Singapura. Itu terjadi selama 9 bulan. Pada bulan kesepuluh, baru saya mendapatkan gaji penuh 230 dolar Singapura. Kontrak kerja saya saat itu selama 2 tahun. 

Cukup banyak terjadi konflik antara saya dan majikan. Ia tidak bisa menghargai saya. Saat Idulfitri, saya tetap disuruh bekerja. Saya pun protes padanya. Ia sempat berkata:

“Indon maid is stupid. No good.”

Lalu, saya balas, “If you think Indon maid is stupid and no good, why you don’t take Filipino maid or Thailan maid? They all good and clever, why you don’t take them? You scared, right? Because they all are clever, smart and must have expensive salary, right?

Ia pun diam. Agustus 2002, saya pulang ke Indonesia. Sejak itu, orangtua melarang saya pergi menjadi TKI.

Tahun 2003, saya melahirkan putri kedua. Saat umurnya 3 bulan, saya menitipkan kedua putri saya pada oma dan opanya. Tahun 2005, saya luntang-lantung mencari pekerjaan di Jakarta. Hingga akhirnya, tahun 2006 saya diajak bekerja oleh teman bibi saya, orang Jepang yang tinggal di sebuah apartemen di Plaza Senayan.

Saya mengerjakan semuanya, mulai dari masak, mengurus anak, membersihkan rumah. Gaji saya saat itu Rp500.000,00. Mereka sangat baik pada saya. Sebulan sekali, saya libur dan pergi ke Pulo Gadung untuk mengirim uang dan kebutuhan sekolah anak saya di kampung lewat “bisa sahabat” yang sudah terpercaya sejak kami kecil.

Kontrak saya habis pada 2010, dan majikan saya kembali ke Jepang. Mereka sangat menghargai saya. Meski sudah tidak bekerja, setahun sekali mereka akan mengirimkan uang pada saya untuk membantu biaya sekolah anak-anak saya sampai saat ini.

Setelah selesai dengan Mr. dan Mrs. Maeda, saya pun bekerja dengan teman mereka, Mereka juga sangat baik. Mereka punya dua anak. Tahun 2011, mereka kembali juga ke Jepang.

Kemudian, saya direkomendasikan bekerja dengan teman mereka di apartemen di Jakarta Selatan. Ia punya seorang anak laki-laki. Keluarganya juga sangat baik pada saya.

Menyambung Hidup

Malang tak dapat dihindari, pada Oktober 2011, suami saya mengalami kecelakaan tabrakan parah. Mereka memberi saya toleransi cuti selama satu tahun untuk mengurus suami, dan tetap membayar gaji saya setiap bulannya. Namun, karena suami saya memerlukan waktu yang cukup lama untuk kembali pulih, saya pun memilih mengundurkan diri. 

Kurang lebih selama 6 sampai 7 tahun saya merawat suami hingga habis-habisan. Tiap jam 1 malam, saya ke pasar memungut sayuran, saya kumpulkan dan masukkan ke kantong kresek. Sayur tersebut saya jual seharga Rp1.000,00. Biasanya mereka membeli untuk makanan ikan gurame dan lele. 

Saat suami sudah mampu duduk, saya pun ditawari pekerjaan di Country Wood selama 8 bulan. Setelah itu, saya bekerja selama 4 tahun. Alhamdulillah rezeki saya sampai bisa membawa suami berobat rutin ke RS Fatmawati, mengangsur hutang di rumah sakit itu.

Selama 4 tahun, uang lembur (overtime) saya sisihkan untuk membeli tanah di Parung. Walaupun rumah saya hanya 50 m, tetapi bagi saya itu sangat berharga. 

Setelah kontrak habis, saya kembali menganggur dan mencari pekerjaan. Kemudian, saya mendapat tawaran bekerja pada orang Jerman. Namun, saat pandemi saya di-PHK sampai saat ini. 

Untuk bertahan hidup selama belum mendapat pekerjaan, saya berjualan pepes ikan mas, pecak ikan mas, dan arsik ikan mas. Keuntungan yang saya dapatkan saya gunakan untuk membayar biaya kontrakan, sekolah anak-anak saya yang alhamdulilah bisa kuliah. Dari makanan yang dijual ini semoga kami semua bisa bertahan dan saya lekas mendapat pekerjaan lagi.

MILA SARI

Aktivis Pekerja Rumah Tangga (PRT)

Related Articles

Leave a Comment