tungkumenyala.com – Meski lebih 20 tahun diperjuangkan, perlindungan pekerja rumah tangga (PRT) hingga kini masih menjadi isu marjinal. Masyarakat yang terpapar apalagi paham mengenai isu ini masih minim. Media massa dan influencer yang diyakini efektif sebagai pembawa pesan kepada masyarakat umum juga belum intensif mengangkat isu ini.
Simak kisah Dea Safira, influencer yang banyak mengamati hak perempuan. Saat awal praktek menjadi dokter gigi, Dea bersinggungan dengan para pasien yang datang dari berbagai latar belakang. Dari para pasien inilah Dea belajar isu perempuan, terutama perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT).
Mulai saat itu Dea pun mulai menaruh perhatian lebih pada berbagai keluhan PRT, seperti jam kerja panjang, beban kerja berlebih ataupun tempat kerja dan upah yang tidak layak.
Dari pengamatannya, Dea menemukan bahwa hingga saat ini PRT belum dianggap sebagai isu seksi karena ada kesenjangan identitas dalam melihat PRT. Ada individualisme, sehingga isu PRT tidak dianggap sebagai isu kolektif. Ia melihat kesadaran kolektif dari feminis muda terhadap isu PRT masih kurang sehingga perjuangan PRT masih sulit diangkat menjadi isu bersama.
Di sisi lain tidak ada ruang aman, bahkan ada upaya untuk men-doxing PRT. PRT dianggap tidak mengerjakan sesuai apa yang dimaui oleh pemberi kerja. Lebih parah, banyak majikan yang menganggap bahwa kerja domestic bukanlah pekerjaan sehingga PRT tidak diakui sebagai pekerja tapi sebagai pembantu.
“Kerja PRT yang adalah pekerjaan rumah tangga menyangkut isu reproduksi social, tapi isu ini seringkali tidak dihitung. Padahal kita semua mengerjakan dan merasakan manfaat pekerjaan PRT, dan semua pekerjaan rumah tangga yang dikenakan kepada orang lain seharusnya dihitung,” ujarnya saat berbicara dalam acara diskusi “Raise Your Voice: Suarakan Suara Pekerja Rumah Tangga yang digelar Konde.co dan Jala PRT pada Sabtu, 4 Juni 2022 lalu.
Kerja PRT yang adalah pekerjaan rumah tangga menyangkut isu reproduksi social, tapi isu ini seringkali tidak dihitung. Padahal kita semua mengerjakan dan merasakan manfaat pekerjaan PRT, dan semua pekerjaan rumah tangga yang dikenakan kepada orang lain seharusnya dihitung,”
Dea menegaskan, fakta ini seharusnya cukup untuk dijadikan alasan guna membangun kesadaran bahwa perlindungan PRT adalah perjuangan bersama. Isu PRT adalah isu bersama, karena harus diakui semua orang butuh atau bahkan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
“Dan itu butuh skill. Saya sampai sekarang nggak bisa mengerjakan rumah dengan baik. Banyak PRT yang punya skill tapi kenapa ini tidak diakui sebagai pekerjaan?” ujarnya gemas.
Para PRT, lanjutnya, tak bisa dibiarkan berjuang sendirian. Diingatkan, PRT berada dalam posisi yang lemah baik dalam hubungan kerja maupun dalam tatanan masyarakat yang lebih luas. Sehingga agar perjuangan mereka membuahkan hasil, perlu dukungan dari masyarakat luas.
“Banyak PRT yang datang dari kelompok ekonomi yang secara kultural kurang menguntungkan. Mereka datang dari masyarakat yang dimiskinkan,” ujarnya
Dengan alasan ini, Dea mengajak semua kalangan, terutama para feminis muda untuk mulai lebih mendengarkan kisah para PRT guna membangun empati. Ia juga menyerukan kolaborasi berbagai pihak untuk mengarus utama isu perlindungan PRT ini.
Sonya Helen Sinombor mengamini pendapat Dea. Jurnalis senior dari Harian Kompas ini mengakui, isu PRT masih kurang mendapat ekspos di media. Selama ini media baru memberitakan jika ada kejadian yang menimpa PRT. Tetapi perjuangan untuk adanya perlindungan dan payung hukum untuk PRT minim perhatian.
“Kalau ada kejadian, baru media memblow up. Tetapi pemberitaan perjuangan untuk disahkannya RUU Perlindungan PRT masih seret,” ujarnya.
Untuk itu Sonya mengajak mereka yang sudah belasan tahun berjuang untuk UU Perlindungan PRT lebih aktif mengajak insan pers lebih mendalami apa yang sebenarnya dilakukan dan menimpa PRT. Selama ini, hanya sedikit insan Pers yang tahu praktek-praktek baik yang sudah dilakukan para PRT dalam memenuhi kewajibannya.
Perlu menambah energy, ujarnya, agar media mau mengangkat dan menampilkan isu PRT secara komprehensif. Bahwa meningkatkan kesejahteraan PRT dan memanusiakan PRT itu tidak hanya akan dinikmati PRT tetapi juga para majikan dan masyarakat yang lebih luas. Lebih dari itu, masalah perlindungan PRT adalah masalah sistemik yang penanganannya harus dilakukan secara kelembagaan.
Diingatkannya, dari jutaan rumah tangga yang dilayani PRT ada banyak sosok yang punya jabatan dan peran penting dalam pemerintahan, lembaga negara dan perusahaan. Mereka punya peran penting bagi jalannya pembangunan dan bergulirnya roda ekonomi.
Jika ada satu saja PRT yang sakit dan tidak dirawat, maka jalannya rumah tangga tempatnya bekerja akan terganggu yang akhirnya mengganggu roda ekonomi secara keseluruhan.
Jika ada satu saja PRT yang sakit dan tidak dirawat, maka jalannya rumah tangga tempatnya bekerja akan terganggu yang akhirnya mengganggu roda ekonomi secara keseluruhan.
“Jika anggota DPR dan pengambil kebijakan lainnya melihat PRT dalam perspektif itu, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak mendukung pengesahan RUU PRT,” ujarnya.
Sonya menegaskan, dibutuhkan strategi khusus untuk dapat menggaungkan isu perlindungan PRT ini. Mengangkat suara PRT tidak bisa hanya sekadar bersuara, tetapi harus dipikirkan lebih diseriusi. Kontennya harus mampu menyentuh kesadaran publik, bahwa meningkatkan kesejahteraan PRT berarti mendorong proses pekerjaan atau pembangunan berjalan lancar.